Senin, 31 Januari 2011

Pangan Aman di Luwu

Jum'at, 28 Januari 2011; Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo dan Bupati Luwu Andi Mudzakkar melakukan panen padi di Desa Towondu Kecamatan Suli Kabupaten Luwu. Pada saat sebagian daerah penghasil beras gagal panen karenacuaca ekstrim, justru di Luwu masih ada Panen. Pola pertanaman padi di Luwu sangat unik yaitu setiap bulan selalu ada yang mulai tanam dan ada yang panen artinya tidak ada pertanaman serempak. Tentu hal ini ada keburukannya dan juga ada kebaikannya.

Senin, 24 Januari 2011

Pengembangan Anggrek di Luwu




Kabupaten Luwu, adalah salah satu daerah yang cocok untuk pengembangan anggrek. Hal ini disebabkan karena kondisi iklim yang sifatnya lembab dan banyak hujan. Ciri utama daerah yang beriklim lembab dan banyak hujan adalah adanya lumut yang tumbuh di pohon-pohon terutama pada pohon di hutan. Sebagai contoh ialah adanya anggrek yang tumbuh secara alami pada hutan di Kabupaten Luwu.

Pengembangan anggrek di masyarakat dilakukan secara luas dan swadaya. Banyak ditemui tanaman anggrek berbagai jenis di pekarangan masyarakat yang ditanam dengan berbagai cara. Ada yang menanam dengan menempelkan pada pohon yang tumbuh di halaman, ada yang menggunakan pot, dan ada yang menggunakan media pakis. Walaupun ini belum bersifat komersial, tetapi keberadaan anggrek di pekarangan rumah masyarakat menunjukkan bahwa ada kecintaan masyarakat akan bunga anggrek yang merupakan salah satu komponen untuk memperindah halaman mereka.

Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Peternakan Kabupaten Luwu pada tahun 2006 telah membangun sangkar anggrek yang terletak disamping Kantor Dinas. Ada tiga fungsi dari sangkar anggrek ini adalah :
1. Sebagai tempat penangkaran anggrek terutama anggrek lokal.
2. Sebagai tempat percontohan penangkaran anggrek.
3. Untuk mendukung pameran anggrek baik skala regional maupun nasional, serta mendukung organisasi Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI) Kabupaten Luwu.

Baru-baru ini beberapa koleksi anggrek tersebut diikutkan dan Pekan Flora dan Flori Nasional II dari tanggal 15 - 22 Juli di Batam. Kegiatan ini diikuti bersama dengan Ketua PAI Kabupaten Luwu yang dalam hal ini dijabat oleh Ny. Andi Tenri Karta Mudzakkar.

Kedepan sangkar anggrek ini dikembangkan dengan memperbanyak koleksi anggrek terutama anggrek yang diperoleh dari alam Kabupaten Luwu. Oleh karena itu seandainya ada masyarakat yang mau berpartisipasi dan melestarikan anggrek di Luwu, dapat mengirimkan koleksi anggreknya untuk ditangkarkan disini. Tahu ini beberapa koleksi dari Petani Walenrang ditangkarkan dan sekaligus diikutkan pada PF2N.

Penataan Tata Ruang Luwu - Pendekatan Multi Sektor


Kabupaten Luwu sebagai salah satu daerah dengan karakteristik lahan yang beraneka ragam, mulai dari pegunungan hingga tepi pantai, ada yang curam hingga datar, serta didukung dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun dengan puncak hujan yang jatuh pada Bulan Mei dan puncak kemarau pada Bulan Oktober. Keadaan iklim yang relatif berbeda dengan kebanyakan daerah di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan yang mempunyai puncak hujan pada bulan Januari dan puncak Kemarau pada Bulan Agustus.
Sebagai daerah agraris, Kabupaten Luwu memiliki kekurangan yang dapat mengancam kelangsungan potensi agraris yang dimiliki yaitu :
1.    Kabupaten Luwu tidak memiliki bendungan (dam) yang dapat menampung air sebagai cadangan pada musim kemarau. Bahkan kemungkinan untuk membuat bendungan (dam) sangat sulit mengingat kondisi geografis yang tidak mendukung seperti : jarak antara gunung sebagai sumber mata air dengan laut relatif dekat dan fisiografis wilayah makro yang bergelombang.
2.    Kerusakan hutan yang berfungsi sebagai regulator air semakin memperihatinkan. Fungsi hutan kurang diperhatikan masyarakat dan Pemerintah Daerah. Hutan sebagai sumber kayu didepan mata jelas adanya. Tetapi bila kayu tersebut ditebang dan diangkut keluar dari kawasan hutan maka ada dua hal yang dirusak yang pertama adalah bahwa telah terjadi kerusakan fungsi hidrologis dari hutan tersebut dan yang kedua bahwa kita telah membawa sejumlah unsur hara keluar kawasan hutan yang sedianya digunakan olah tanaman untuk tumbuh. Perlu diketahui bahwa kayu itu terdiri dari unsur hara dan air sehingga jika tanaman mati di hutan dan kayunya lapuk menjadi unsur hara maka tanaman disekitarnya akan memanfaatkan unsur hara tersebut untuk pertumbuhannya. Begitulah siklus hara mikro dalam kawasan hutan sehingga walaupun tidak dipupuk hutan tetap lebat karena hasil kerja pohon-pohon ratusan bahkan tahun yang lalu dalam mengumpulkan unsur hara dari pelapukan batuan yang sangat lambat dan hara tersebut terakumulasi sampai sekarang ini.

Mengapa perlu rencana tata ruang ? Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan perlunya ada suatu tata ruang baik yaitu pertama, kita ingin memanfaatkan sumber daya lahan secara maksimal untuk kemakmuran rakyat yang kedua adalah kita ingin agar pembangunan ini berkelanjutan yang dapat dinikmakti hasilnya hingga generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah suatu tuntutan yang harus dipenuhi tanpa merusak lingkungan hidup.
Pembangunan yang memanfaatkan lahan perlu ditata sesuai dengan kemampuan lahan tersebut, bukan sesuai keinginan manusia di atasnya. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah membagi daya dukung lahan kedalam 8 kelas sesuai dengan 10 faktor pembatas yang ada pada lahan tersebut. Dengan 8 kelas kemampuan lahan tersebut dapat dibagi kedalam berbagai pembangunan yang memanfaatkan lahan seperti :
Kelas I    adalah lahan dengan kemiringan 0-2%, kedalaman >90 cm, dan batuan permukaan 0,01<%. Tekstur tanah lempung sampai lempung liat berpasir, dan tanpa banjir, drainase baik. Lahan seperti ini sangat sesuai untuk tanaman semusim, tinggal olah dan tanam. Mungkin diperlukan pembuatan saluran drainase.
Kelas II    adalah lahan dengan kemiringan 2-5%, kedalaman 60-90 cm, dan batuan permukaan 0,01-0,1%. Tekstur tanah lempung sampai liat berpasir, dan jarang ada banjir yang mengganggu pertanaman, drainase baik. Lahan seperti ini sesuai untuk tanaman semusim, mengingat kemiringan lahan, maka tindakan konservasi sangat baik untuk dilaksanakan. Disamping itu drainase untuk menghindari genangan air juga perlu diperhatikan.
Kelas III    adalah lahan dengan kemiringan 5-15%, kedalaman 30-60 cm, dan batuan permukaan 0,1-3%. Tekstur tanah lempung berpasir sampai liat, dan agak sering kebanjiran sehingga mengganggu pertanaman, drainase agak baik.    Lahan seperti ini agak sesuai untuk tanaman semusim, mengingat kemiringan lahan, maka tindakan konservasi sebaiknya dilaksanakan
Kelas IV    adalah lahan dengan kemiringan 15-25%, kedalaman 30-15 cm, dan batuan permukaan 3-15%. Tekstur tanah lempung berpasir sampai liat, dan sering kebanjiran sehingga mengganggu pertanaman. Lahan seperti ini dapat digunakan untuk tanaman semusim, mengingat kemiringan lahan, maka tindakan konservasi wajib dilaksanakan.
Kelas V    adalah lahan dengan kemiringan tidak mengikat, kedalaman 15-30 cm, dan batuan permukaan 15-50%, dengan berbagai tekstur tanah kecuali pasir atau tergenang hampir sepanjang tahun. Lahan seperti ini tidak sesuai untuk tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk dikembangkan dengan vegetasi permanen untuk makanan ternak.
Kelas VI    adalah lahan dengan kemiringan 25-40%, kedalaman 15-30 cm, dan batuan permukaan 50-70%. Tekstur tanah pasir berlempung. Lahan seperti sesuai untuk vegetasi permanen berupa rumput makanan ternak atau dihutankan. Jika digunakan untuk tanaman semusim wajib tindakan konservasi seperti teras bangku, pengelolaan menurut kontur dan sebagainya.
Kelas VII    adalah lahan dengan kemiringan 40-65%, kedalaman 15-30 cm, dan batuan permukaan 70-90%. Tekstur tanah pasir berlempung. Lahan seperti ini dapat dimanfaatkan untuk peternakan terbatas dengan penanaman vegetasi permanen seperti rumput dan tanaman hutan.
Kelas VIII    adalah lahan dengan kemiringan > 65%,, permukaan sangat berbatu > 90% atau berupa tanah pasir. Lahan seperti ini dapat dimanfaatkan untuk kawasan lindung, hutan lindung atau rekreasi. Sudah tidak cocok untuk pengembalaan ternak.

Pemaparan di atas hanyalah suatu gambaran yang membagi kedalam empat bagian besar yaitu penggunaan untuk pertanaman, pengembalaan, hutan dan cagar alam. Berbagai usaha pertanian untuk klasifikasi pertanaman meliputi pertanaman tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, sedang pengembalaan meliputi peternakan sapi, kambing atau lainnya yang pada dasarnya bahwa lahan tersebut sudah sangat dangkal sehingga hanya rumput-rumputan yang dapat tumbuh dengan baik dalam hal ini harus dijamin bahwa lahan tertutup tumbuhan sepanjang tahun. Sedang untuk kawasan hutan dan cagar alam lebih ditujukan pada fungsi lahan tersebut yang terbaik. Pembiaran adalah salah satu upaya yang mendukung. Lokasi seperti ini bagus untuk wisata alam.
Bukan hanya faktor lahan yang menjadi pertimbangan dalam pemuatan peta rencana tata ruang dan tata wilayah. Faktor lahan merupakan faktor dasar yang masih membuka banyak peluang pengembangan komoditas. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah sarana dan prasarana wilayah. Yang paling menonjol dalam hal ini adalah sarana irigasi, jalan dan tempat pemasaran. Sebagai contoh buah apel yang diproduksi di bastem dan latimojong mungkin harganya lebih mahal dari apel yang didatangkan dari malang karena kendala transportasi. Untuk wilayah yang terkendala dengan transportasi perlu dipertimbangkan harga komoditas per kilogram yang lebih tinggi. Sebagai contoh dua orang petani dari latimojong, satu membawa 40 kg madu dan satu membawa 40 kg beras, menjual komoditas tersebut di Pasar Belopa. Madu dijual Rp. 50.000,– /kg sedang beras dijual Rp. 5000 ,– /kg. Petani madu mendapatkan uang sebanyak Rp. 2.000.000,– sedang petani padi mendapatkan Rp. 200.000,– . Bukan hanya itu petani padi harus membeli pupuk NPK dan Insektisida sebanyak Rp. 100.000,-. Disini terlihat jelas bahwa pengembangan komoditas tertentu pada daerah terpencil perlu perhitungan yang matang. Tentu saja pengembangan tanaman pangan pada daerah seperti itu hanya diarahkan pada kebutuhan lokal daerah tersebut untuk menjamin keamanan pangan pada lokasi terpencil. Sedangkan untuk agribisnis perlu dipertimbangkan komoditas lain seperti bidang kehutanan, rekreasi, dan peternakan yang bernilai ekonomi tinggi.
Penetapan suatu lokasi sebagai kawasan pengembangan komoditas tertentu seyogyanya dilakukan secara total dan menyeluruh. Sumber daya manusia pada lokasi tersebut perlu dipersiapkan dan didik agar mampu berusaha. Sebagai contoh penetapan kawasan pengembangan ternak kambing, maka disamping masyarakat tani diberi / dipinjami kambing juga diperlukan bekal pelatihan dan pengawasan dari petugas yang melakukan pemantauan setiap hari selama kurang lebih tiga tahun. Petugas tersebut yang membantu masyarakat petani untuk menganalisa dan memecahkan persoalan yang ada dalam pengembangan tersebut. Ingat sumberdaya petani umumnya rendah dan relatif tidak terampil. Perlu diingat bahwa modal yang diberkan kepada petani merupakan bagian dari kekayaan negara yang harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut dan kalau bisa dapat.

Semangka Kuning di Luwu

Masyarakat sudah lama mengenal semangka merah, ternyata ada juga semangka kuning. Warna kulitnya kuning dan warna dagingnya dari kuning puca...