Jika kita membandingkan Kelompok Tani era sekarang ini dengan
era BIMAS dulu maka jelas terlihat beberapa perbedaan sebagai berikut :
Kehidupan sekarang ini makin menyudutkan petani untuk melakukan
diversifikasi usaha, akibat perubahan iklim yang belum dapat diprediksi, hama,
kekurangan air dan lain-lain. Sebagian petani memilih menjadi Tukang Ojek dan
mengunjungi lahannya cukup sekali seminggu atau dua kali seminggu. Apalagi
didukung dengan kemudahan kredit motor yang bisa dicicil enam bulanan. Sebagian
kecil menjadi buruh bangunan dan lain-lain.
Kepemilikan lahan semakin sempit bahkan ada yang penguasaannya
bergilir setiap tahun terutama pada wilayah selatan Luwu. Sempitnya lahan
sehingga tidak efisien jika dibagi dengan ahli waris lainnya membuat sebagian
petani bekerja musiman (Shift). Tahun ini mengolah sawah, tahun depan tidak lagi
karena sawah tersebut dikelola oleh sepupunya atau keluarga lainnya.
Gotong-royong di antara petani sudah sangat berkurang, dulu
petani bergotong-royong terutama dalam kegiatan tanam pindah dan panen. Dulu
seorang petani tidak khawatir dalam dua kegiatan yaitu tanam dan panen karena
yakin akan rekan petani lainnya siap membantu. Tapi sekarang ini semuanya harus
diperhitungkan dengan matang. Tidak jarang petani mengalami kesulitan dalam
panen karena hanya mengandalkan tenaga kerja dari luar daerah. Apa lagi jika
hasil kurang bernas, maka kelompok pemanen lebih memilih hamparan padi yang
baik.
Ada perubahan dalam diversifikasi usaha petani. Sekarang ini
banyak petani yang berprofesi sebagai tukang ojek, atau mungkin tukang ojek yang
berprofesi sebagai petani. Jika dilihat di KTP maka jelas profesinya adalah
petani tetapi dalam keseharian lebih banyak meng-ojek dari pada bertani.
Biasanya mereka hanya mengunjungi sawahnya sekali seminggu dan sisanya
meng-ojek. Ada juga petani yang merupakan profesi sampingan dari dari guru, pns,
tni, polri atau pejabat lain.
Semua petani baik yang 100% petani maupun yang sampingan saja
tergabung dalam kelompok tani yang sama, akibatnya kadang-kadang petani yang
asli karena kurang dalam akses informasi sehingga bantuan pemerintah baik dalam
hal subsidi maupun bansos lebih dahulu dinikmati oleh petani sampingan tersebut.
Ketika diadakan pertemuan kelompok tani, maka yang hadir hanya petani yang
betul-betul menggantungkan hidupnya pada pertanian. Tidak jarang yang datang
kurang dari 10 orang padahal anggota kelompok 25 – 40 orang.
Kadang saya berpikir ada baiknya jika kelompok tani itu
dibentuk dari yang 100% petani dengan mengeluarkan anggotanya yang hanya bekerja
sambilan saja